Tepat Biaya Bagian dari RUM
Rational Use of Medicine atau penggunaan obat rasional menurut WHO didefinisikan sebagai
“Pasien menerima pengobatan yang sesuai dengan kebutuhan klinis mereka, dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan individual, untuk jangka waktu yang sesuai dan dalam biaya terapi yang terendah bagi pasien maupun komunitas mereka.”
Terdapat 5 poin penting yang terkandung dalam definisi tersebut. Bahwa penggunaan obat rasional harus memenuhi :
1. Tepat Pasien
2. Tepat Indikasi
3. Tepat Obat
4. Tepat Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian obat
5. Tepat Biaya
1. Tepat Pasien
2. Tepat Indikasi
3. Tepat Obat
4. Tepat Cara pemberian obat, dosis, frekuensi dan lama pemberian obat
5. Tepat Biaya
Tepat biaya berarti biaya terapi (harga obat dan biaya pengobatan) hendaknya dipilih yang paling terjangkau oleh keuangan pasien. Hal ini dapat diaplikasikan dengan mengutamakan meresepkan dan menggunakan obat-obat generik dibandingkan obat bermerek / obat originator yang harganya jauh lebih mahal.
Kebalikan dari penggunaan obat rasional (RUM) adalah penggunaan obat tidak rasional (Irrational Use of Drug / IRUD). Salah satu ciri praktek penggunaan obat tidak rasional adalah biaya terapi tidak seimbang dengan manfaat yang diperoleh. Artinya, pasien harus membayar biaya terapi melebihi manfaat terapi yang diterima pasien. Salah satu contoh kasusnya adalah kebiasaan tenaga kesehatan meresepkan dan menggunakan obat-obat bermerek maupun obat originator padahal ada alternatif obat generik yang harganya lebih murah.
Karenanya tenaga kesehatan yang terlibat dalam peresepan dan penggunaan obat seperti Dokter, Dokter Gigi, Apoteker, Assisten Apoteker dan Bidan perlu memiliki pemahaman yang benar tentang obat generik sehingga terwujud penggunaan obat yang rasional.
Jika ingin sungguh-sungguh menerapkan konsep RUM, tenaga kesehatan tidak cukup hanya menerapkan prinsip tepat indikasi dan tepat obat, tetapi mengabaikan prinsip tepat biaya. Peresepan dan penggunaan obatnya sih rasional, tapi giliran pasien minta obat generik, tenaga kesehatan menolak memberikan dengan berbagai alasan yang tidak jelas.
Kenali Istilah
Sebelum mengenal lebih jauh tentang obat generik, perlu dipahami dulu penggunaan istilah obat yang banyak dipakai : obat generik, obat generik berlogo, obat generik bermerek, obat bermerek, obat paten dan obat originator.
Istilah generik dalam obat berarti berhubungan dengan nama umum, nama INN (international non-prorietary name) atau nama zat kimia obat tersebut. Contohnya adalah ketika kita menyebut parasetamol, ibuprofen, dll, berarti kita menyebut nama generik suatu obat.
Jika dihubungkan dengan penggunaan istilah generik, obat yang beredar di pasaran sebenarnya hanya terdiri dari 2 jenis, yaitu obat generik (unbranded drug) dan obat bermerek (branded drug).
Obat generik adalah obat jadi yang dipasarkan hanya dengan menggunakan nama generiknya. Di kemasan obat baik strip maupun dusnya, yang tercantum adalah nama generik bahan aktif obat tersebut.
Sedangkan obat bermerek adalah obat jadi yang dipasarkan dengan nama dagang / merek (proprietary name). Di kemasan produk, baik strip, botol maupun dus, yang lebih ditonjolkan adalah nama dagang obat tersebut, meskipun dibawah nama dagang tetap harus dicantumkan nama generiknya. Misalnya jika kita menyebut Panadol untuk sebuah merek obat yang mengandung parasetamol.
Berdasarkan penjelasan di atas, istilah obat generik bermerek sendiri sebenarnya merupakan salah kaprah. Karena jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris, obat generik bermerek menjadi branded-unbranded drug. Pusing kan? Sebaiknya istilah obat generik bermerek tidak digunakan lagi.
Obat generik berlogo adalah obat yang diprogramkan pemerintah dengan menggunakan nama generik dan diberi logo generik di kemasannya.
Isitlah obat paten juga agak rancu karena perlu diperjelas, apa yang dipatenkan? Mereknya atau zat obatnya? Jika yang dimaksud adalah paten merek, sebaiknya menggunakan istilah obat bermerek saja, karena dapat dipastikan semua obat bermerek mematenkan nama dagangnya. Tapi jika yang dipatenkan adalah komposisi bahan aktifnya atau zat kimianya, sebaiknya digunakan istilah obat originator.
Obat originator adalah obat yang diproduksi dan dipasarkan oleh perusahaan farmasi penemu bahan aktif yang terkandung dalam obat tersebut. Misalnya ketika kita menyebut obat merek Norvask untuk obat dengan kandungan amlodipine (obat antihipertensi). Norvask merupakan obat originator dari amlodipine, karena produsen Norvask yaitu Pfizer adalah perusahaan farmasi yang menciptakan amlodipine. Amlodipine ditemukan oleh Pfizer melalui penelitian bertahun-tahun dengan biaya yang tidak sedikit pula. Karenanya Norvask berhak atas hak paten hingga 20 tahun, dimana selama kurun waktu tersebut, produksi dan pemasaran amlodipine di seluruh duania hanya bisa dilakukan oleh Pfizer. Setelah masa paten Norvask habis (off patent), barulah produsen bahan baku maupun produsen obat dapat ikut memproduksi dan memasarkan amlodipine, disebut me too drug. Pabrik obat dapat memproduksi dan memasarkan amlodipine dengan merek masing-masing, yang kemudian kita sebut obat bermerek. Obat generik amlodipine pun sudah boleh diproduksi dan dipasarkan.
Program Obat Generik
Obat generik diluncurkan tahun 1991 oleh pemerintah yang SAAT ITU ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah akan obat. Namun seiring perkembangan waktu, program obat generik saat ini ditujukan untk menyediakan obat bermutu dengan harga terjangkau, sehingga diharapkan akses masyarakat terhadap obat dapat meningkat, lebih banyak masyarakat yang dapat menikmati obat, obat tidak ekslusif hanya untuk orang-orang berduit dan derajat kesehatan masyarakat pun meningkat.
Saat ini belum banyak masyarakat maupun tenaga kesehatan yang mau meresepkan dan menggunakan obat generik. Menurut data Departemen Kesehatan RI tahun 2010, peresepan obat generik oleh dokter di rumah sakit umum milik pemerintah saat itu baru 66 %, sedangkan di rumah sakit swasta dan apotek hanya 49 %. Ketersediaan obat essensial generik di sarana pelayanan kesehatan juga baru 69,7 % dari target 95 %. Antara tahun 2005 – 2010, pasar obat generik turun dari Rp 2.525 triliun atau hanya 10 % pasar obat nasional, menjadi Rp 2.372 triliun atau 7,2 % pasar nasional.
Saat ini, menurut Maura Linda Sitanggang, Apt, PhD selaku Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan dalam acara temu media di gedung Kemenkes , Jakarta, bulan Maret 2012 yang lalu (seperti yang dilansir dari detikHealth), penggunaan obat generik baru sekitar 40 %. 60 – 70 % diantaranya adalah penggunaan obat generik untuk penyakit-penyakit kronis seperti diabetes dan hipertensi yang penggunaan obatnya berlangsung seumur hidup. Sedangkan di negara-negara maju, penggunaan obat generik sudah mencapai 70 – 80 persen.
Penggunaan obat generik di negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa sedemikian besar dikarenakan tingkat kesadaran dan pengetahuan masyarakat di negara maju sudah tinggi. Mereka juga sudah teredukasi dengan baik. Masyarakat negara maju tahu persis bahwa zat berkhasiat yang terkandung dalam obat generik dan obat bermerek sama persis, sehingga tidak ragu untuk menggunakannya. Mereka sedikit banyak juga tahu akan manfaat obat-obatan yang diberikan oleh dokter dan pelayanan kesehatan.
Selain itu, obat generik sangat populer di negara maju karena ditopang oleh sistem pelayanan kesehatan yang telah dicover oleh asuransi. Pihak asuransi akan menekan institusi kesehatan agar memberikan obat generik kepada pasien yang datang berobat. Itulah mengapa di negara maju, setiap pasien yang berobat, maka dokter, klinik atau rumah sakit akan otomatis memberikan obat generik.
Di Indonesia, rendahnya penggunaan obat generik dipengaruhi oleh sikap dan persepsi tenaga kesehatan dan pasien terhadap obat generik itu sendiri. Di sini, sistem asuransi kesehatan juga belum berkembang dengan baik, sehingga untuk biaya kesehatan, pasien harus mengeluarkan uang dari kocek sendiri.
Beberapa faktor yang menyebabkan tenaga kesehatan enggan meresepkan obat generik :
- Kurang informasi mengenai obat generik : masih menganggap obat generik obat murahan, obat untuk kalangan tidak mampu, mutu tidak terjamin, dll
- Pertimbangan efikasi obat jika dibandingkan obat originator (originator lo ya, bukan obat bermerek)
- Terbatasnya jenis obat generik
- Ketersediaan obat generik di pelayanan kesehatan
- Distribusi obat generik yang masih belum merata
- Kepentingan pribadi : kolusi dengan pabrik obat
Sedangkan dari segi pasien, rendahnya penggunaan obat generik disebabkan oleh beberapa faktor :
- Rendahnya pengetahuan pasien tentang obat generik itu sendiri. Sehingga pasien cenderung dan menerima begitu saja apa pun obat yang diberikan dokter atau rumah sakit tanpa bertanya lebih detil.
- Sulitnya akses obat kepada masyarakat
- Ketersediaan obat di berbagai daerah
- Harga obat generik yang masih dirasa mahal untuk sebagian kalangan
Kualitas Obat Generik
Sama seperti obat bermerek, obat generik pun dikategorikan me too drug, obat kopi setelah obat originator habis paten. Karena sama-sama me too drug, obat generik memiliki komposisi bahan aktif yang sama persis dengan obat bermerek. Sehingga indikasi obatnya pun sama, dosis sama, efek sampingnya pun sama.
Tidak sembarang pabrik obat boleh memproduksi obat generik. Sama seperti obat bermerek, obat generik pun harus memenuhi Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dalam proses pembuatannya, meliputi pemilihan bahan baku, fasilitas produksi, proses produksi hingga kontrol kualitas. Sehingga tidak ada alasan menganggap obat generik memiliki kualitas yang lebih rendah dari obat bermerek. Bahkan tidak sedikit pabrik obat menggunakan bahan baku yang sama untuk obat bermerek dan obat generiknya! Hal ini dilakukan supaya harga bahan baku bisa lebih murah karena pembelian dalam jumlah besar.
Untuk beberapa jenis obat seperti obat jantung, hipertensi, diabetes atau obat lain yang kadarnya kecil, sama seperti obat bermerek, obat generik pun harus melakukan uji bioekuivalensi (BE) seperti yang ditetapkan oleh Badan POM. Uji bioekivalensi merupakan data ekivalensi untuk melihat kesetaraan sifat dan kerja obat di dalam tubuh dibandingkan terhadap obat inovator (originator). Dua produk obat disebut bioekivalen jika keduanya mempunyai ekivalensi dan pada pemberian dosis yang sama akan menghasilkan bioavailabilitas (ketersediaan obat dalam darah) yang sebanding sehingga efeknya akan sama dalam hal efikasi maupun keamanan. Artinya, jika obat generik lolos uji bioekuivalensi, maka obat generik memiliki ekivalensi yang sama dengan obat originator. Jadi, masih mempertanyakan kualitas obat generik ?
Kok Murah ?
Jika kualitas obat generik dapat dibandingkan dengan obat bermerek, mengapa obat generik harganya jauh lebih murah hingga 20 – 30 kali lipat dibanding harga obat bermerek?
1.Harga Diatur Pemerintah
Harga obat generik telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah. Produsen obat generik tidak dapat menentukan harga sendiri. Harga jual obat generik tidak boleh melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Sehingga pasien yang membeli obat generik di apotek atau RS mana pun di seluruh Indonesia, harga obat generik tidak akan lebih tinggi dari harga HET.
Hal ini dangat berbeda dengan harga obat bermerek, dimana pemerintah nampak tidak berdaya (atau enggan ?) mengatur harga obat bermerek. Harga obat bermerek diserahkan sepenuhnya pada produsen obat dan mekanisme pasar. Obat telah menjadi komoditas ekonomi dan telah kehilangan rohnya sebagai bagian dari hak individu untuk dapat sembuh dari sakit atau memperpanjang usia karena kemampuan ekonomi seseorang menjadi kendala untuk mencapai tujuan tersebut.
2.Tidak dipromosikan besar-besaran
Obat generik tidak dipromosikan besar-besaran. Sedikit sekali seminar atau simposium yang sengaja diadakan untuk mempromosikan obat generik. Sedikitnya biaya promosi tentu saja sangat mempengaruhi harga obat itu sendiri. Karena termasuk program pemerintah, maka promosi obat generik justru banyak dilakukan oleh pemerintah sendiri.
Sangat berbeda dengan obat bermerek. Karena jumlah obat bermerek yang beredar di pasaran sangat banyak, maka setiap produsen obat berlomba-lomba mempromosikan obatnya dengan berbagai cara agar obatnya dapat digunakan oleh pasien. Biaya promosi yang tidak sedikit itupun akhirnya dibebankan ke pasien melalui penetapan harga obat yang selangit. Termasuk biaya kolusi antara oknum tenaga kesehatan dengan pabrik obat.
Pemasaran obat generik pun tidak terlepas dari kolusi antara pabrik obat dengan Apoteker, pemiliki apotek maupun bagian pembelian rumah sakit. Karena produsen obat generik cukup banyak (meskipun tidak sebanyak produsen obat bermerek), tetap saja dapat terjadi main mata antara tenaga kesehatan dengan pabrik obat agar obat generik produksinyalah yang dijual atau digunakan. Tetapi dengan adanya penetapan harga obat generik dari pemerintah, kalaupun terjadi kolusi antara tenaga kesehatan dan pabrik obat tidak akan sampai merugikan pasien karena biaya promosi tidak dibebankan pada pasien.
3.Biaya produksi rendah
Biaya produksi obat generik umumnya lebih murah karena kemasan obat generik sangat sederhana.
Saat ini, pelayanan kesehatan pemerintah baik rumah sakit atau puskesmas sudah diwajibkan menggunakan obat generik. Bahkan untuk peserta Jamkesmas harus menggunakan obat generik kecuali jika obat generiknya tidak ada.
Kabar baiknya lagi, peningkatan jumlah masyarakat yang menggunakan obat generik tidak hanya di rumah sakit pemerintah saja, karena beberapa rumah sakit swasta menengah ke atas pun sudah menggunakan obat generik.
Tahun 2014 pemerintah berencana menerapkan Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Diharapkan tahun 2014 nanti, tenaga kesehatan dan masyarakat sudah menggunakan obat generik, sehingga obat generik menunjukkan cost effective-nya dalam SJSN.
Jadi jangan ragu-ragu minta diresepkan obat generik ya ..
Selama pasien masih membayar sendiri biaya pengobatannya, adalah hak pasien untuk menentukan, ingin menggunakan obat apa : obat generik, obat bermerek atau obat originator sekalipun.
Referensi :
1. www.depkes.go.id
2. digilib. usu.ac.id
3. detikhealth
4. Kompas Health
5. Image : www.inilah.com
6. http://sobatobat.blogspot.com/2012/07/obat-generik.html#sthash.3yC3xusf.dpuf
Referensi :
1. www.depkes.go.id
2. digilib. usu.ac.id
3. detikhealth
4. Kompas Health
5. Image : www.inilah.com
No comments:
Post a Comment
Tentunya kami selalu mencoba membuat blog ini menjadi sempurna namun tiada yang sempurna hanya tuhanlah yang sempurna jadi berilah kami sara maupun kritik agar blog ini dapat mendekati sempurna!